Bapa, mama, saya yakin bapa dan mama tak pernah lupa dengan segala kejadian yang terjadi dalam rumah sederhana kita, dan begitu juga dengan putra bapa dan mama ini, walau semua deretan kejadian tak dapat saya rekam dengan sempurna, namun sukmaku selalu tahu, jiwa ragaku selalu sadar, bahwa dari segala rentetan kejadian itu, bapa dan mama tak pernah pudar kasih sayangnya untukku.
Bapa dan mama masih ingat waktu kita berlayar dari desa kita menuju Manado?
Ya, anak bapa dan mama juga masih ingat, masih ingat dengan senyum indah, air
mata kasih sayang, peluh keringat perjuangan, dan cerita mama di atas perahu.
Di saat perahu lepas dan menjauh dari pelabuhan, bapa dengan senyum menarik
tali dan mengibarkan layar, bapa juga
yang mengemudikan perahu menuju Sulawesi Utara, sedangkan mama, merangkul saya
dengan saudara-saudaraku dan duduk di depan perahu sembari menceritakan para
pelaut ulung. Ya, mama ceritakan itu
penuh senyum bahagia dan semangat berlayar yang kuat, saya pun gembira
dengan cerita itu, sedangkan bapa di belakang sana melihat kita dengan penuh
optimis.
Di saat malam tiba, dengan penuh cinta, mama juga menemaniku tidur bersama
saudara-saudaraku di dalam rumah-rumah perahu
phinisi yang sederhana. Sedangkan bapa, terus mengemudi dengan ditemani
kopi hangat.
Bapa, mama, sungguh hari-hari itu, sangat indah saya rasa, indah karena
senyum mama, indah karena perjuangan bapa, dan indah karena kita tetap bersama.
Namun, yang namanya samudra, tidak menjanjikan senyum yang monoton, maka di
malam hari mendekati fajar, perahu yang kita tumpangi, oleng diterpa badai.
Ia, badai bapa, badai mama, hari itu saya masih ingat, ketika perahu kita
hampir tenggelam, bapa dengan semangatnya, menurunkan layar, bapa berlari depan
ke belakang, belakang ke depan, bingung apa yang harus dilakukan demi
melindungi dan menyelamatkan kita. Adapun
mama, dengan air mata kasih dan cinta, merangkul kita semua sembari berucap,
"Jangan takut nak, jangan takut nak, sebentar lagi teduh." Sedangkan
kami anak-anak bapa dan mama, hanya bisa histeris malam itu.
Bapa, mama, di antara rentetan
kejadian itu, seakan menjanjikan kasih, menjanjikan cinta. Nyatanya, setelah
cahaya mentari memenuhi jagad raya di pagi hari, alhamdulillah kami masih
bersama dan senyum pun bersinar mengkuti sang mentari, yang sebelumnya kita dihantam badai tiga jam
lamanya.
Bapa, mama, walau kita keluarga phinisi yang hidup di tengah samudra, yang
penuh dengan tantangan badai, gemuruh ombak, serta guyuran hujan, jauh lebih
membuat saya bahagia, karena kita tetap bisa bersama dan saling merangkul di
kala musibah menerpa.
Dari pada mereka yang hidup di daratan sana, karena terbentang kehidupan,
mereka pun berdesak-desakkan memperebutkannya, bahkan saling mendorong dan
tanpa sadar, mereka saling menzholimi antara mereka.
Saya bahagia bapa, saya bahagia
mama, jadi keluarga phinisi walau dipenuhi badai.
Irsun Badrun
Kajuara Bone 20 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar