Selasa, 20 Mei 2014

Tulisan Saat Badai Di Atas Phinisi



Bapa, mama, saya yakin bapa dan mama tak pernah lupa dengan segala kejadian yang terjadi dalam rumah sederhana kita, dan begitu juga dengan putra bapa dan mama ini, walau semua deretan kejadian tak dapat saya rekam  dengan sempurna, namun sukmaku selalu tahu, jiwa ragaku selalu sadar, bahwa dari segala rentetan kejadian itu, bapa dan mama tak pernah pudar kasih sayangnya untukku.

Bapa dan mama masih ingat waktu kita berlayar dari desa kita menuju Manado? Ya, anak bapa dan mama juga masih ingat, masih ingat dengan senyum indah, air mata kasih sayang, peluh keringat perjuangan, dan cerita mama di atas perahu.

Di saat perahu lepas dan menjauh dari pelabuhan, bapa dengan senyum menarik tali dan mengibarkan layar,  bapa juga yang mengemudikan perahu menuju Sulawesi Utara, sedangkan mama, merangkul saya dengan saudara-saudaraku dan duduk di depan perahu sembari menceritakan para pelaut ulung. Ya, mama ceritakan itu  penuh senyum bahagia dan semangat berlayar yang kuat, saya pun gembira dengan cerita itu, sedangkan bapa di belakang sana melihat kita dengan penuh optimis.

Di saat malam tiba, dengan penuh cinta, mama juga menemaniku tidur bersama saudara-saudaraku di dalam rumah-rumah perahu  phinisi yang sederhana. Sedangkan bapa, terus mengemudi dengan ditemani kopi hangat.

Bapa, mama, sungguh hari-hari itu, sangat indah saya rasa, indah karena senyum mama, indah karena perjuangan bapa, dan indah karena kita tetap bersama. Namun, yang namanya samudra, tidak menjanjikan senyum yang monoton, maka di malam hari mendekati fajar, perahu yang kita tumpangi, oleng diterpa badai.
Ia, badai bapa, badai mama, hari itu saya masih ingat, ketika perahu kita hampir tenggelam, bapa dengan semangatnya, menurunkan layar, bapa berlari depan ke belakang, belakang ke depan, bingung apa yang harus dilakukan demi melindungi dan menyelamatkan kita. Adapun mama, dengan air mata kasih dan cinta, merangkul kita semua sembari berucap, "Jangan takut nak, jangan takut nak, sebentar lagi teduh." Sedangkan kami anak-anak bapa dan mama, hanya bisa histeris malam itu. 

Bapa, mama, di antara rentetan kejadian itu, seakan menjanjikan kasih, menjanjikan cinta. Nyatanya, setelah cahaya mentari memenuhi jagad raya di pagi hari, alhamdulillah kami masih bersama dan senyum pun bersinar mengkuti sang mentari,  yang sebelumnya kita dihantam badai tiga jam lamanya.

Bapa, mama, walau kita keluarga phinisi yang hidup di tengah samudra, yang penuh dengan tantangan badai, gemuruh ombak, serta guyuran hujan, jauh lebih membuat saya bahagia, karena kita tetap bisa bersama dan saling merangkul di kala musibah menerpa.

Dari pada mereka yang hidup di daratan sana, karena terbentang kehidupan, mereka pun berdesak-desakkan memperebutkannya, bahkan saling mendorong dan tanpa sadar, mereka saling menzholimi antara mereka. 

Saya bahagia bapa, saya bahagia mama, jadi keluarga phinisi walau dipenuhi badai.

Irsun Badrun
Kajuara Bone 20 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar