Kumengaung di tengah lautan mahasiswa yang
memadati jalan raya. Ya, aku dan kawan-kawan sedang demontstrasi menyampaikan
aspirasi masyarakat, “Hidup mahasiswa, hidup masyarakat.” Kuteriak menggema.
Kumenganggap itu salah satu cara tuk
mempererat ukhuwah. Aku semakin akrab dengan teman-tema sekampus maupun dari
lain kampus. Aku saling kenal dengan mereka. Kuanggap itulah ukhuwah yang harus
dibina.
Beberapa tahun yang lalu juga di pojok kampus,
kusedang duduk bercengkrama dengan teman-teman wanitaku, ada juga teman-teman
lelaki. Kududuk dengan mereka saling menatap satu dengan yang lain, mereka
menatap hidungku yang mancung dan kumenatap mata mereka yang lebar, aku dan
mereka bercanda ria. Ya, namanya juga berteman, dan itu juga kumenganggap kan
menumbuhkan hubungan erat di antara kami, maka akan tercipta yang namanya
ukhuwah.
“Apa sih arti dari sebuah kata ukhuwah?” Tanyaku
dalam hati. Pertanyaan menggiring diriku membuka kamus bahasa Arab, “Persaudaraan.”
Itulah makna yang kudapati dari arti ukhuwah.
Teman-temanku, selalu menasehatiku, bahwa
penting kita hidup dalam dekapan ukhuwah. Dan cara menggapai ukhuwah pun
seperti apa yang kulakukan di atas dengan teman-teman. Ah, benar-benar kata
ukhuwah sangat dahsyat, tidak ada yang mendengarnya kecuali mereka menganggap
itu adalah sesuatu yang baik dan terpuji. Maka, “Ayo kobarkan semangat tuk
jalin ukhuwah.” Seru teman-temanku.
“Berpahala tidak kita jalin ukhuwah?” Bisikku
kepada seorang teman.
“Oh jelas berpahala, hidup itu harus ada
ukhuwah di antara kita.” Jawab temanku.
“Tapi di sana juga ada yang namanya ukhuwah
syaethoniah.” Kataku kepada teman.
“Apa itu ukhuwah syaethoniah?” Tanya temanku
heran.
“Kemarinkan kucoba buka kamus, nah kata ‘ukhuwah’
itu artinya persaudaraan, ‘syaethoniah’ itu syaethon, jadi persaudaraan
syaethon.” Terangku pada teman.
“Ah, kita itukan ukhuwah islamiah, persadaraan
Islam.” Ucap temanku.
“Sob, apakah benar ukhuwah Islamiah kita,
harus dibangun dengan berdemo? Apakah ukhuwah Islamiah itu harus kita bangun
dengan duduk bareng dengan teman-teman cewek?” Tanyakan pada teman. Dia diam
seakan mencari jawaban.
“ Ah, sob, kusemakin bingung nie, apalagi
kupernah baca sebuah buku, bahwa dahulu kala kaum Anshor dan Muhajir itu sangat
erat ukhuwah mereka, bahwak mereka tak tanggung-tanggung memberikan harta
mereka kepada suadaranya, itu karena mereka bangun ukhuwah mereka atas dasar
iman maka jadilah ukhuwah Islamiah. Pertanyaannya sob, apakah dengan berdemo
menghalangi jalan itu termasuk dari iman? Bukankah serendah-rendahnya iman itu
menyingkirkan kotoran dari jalan? Lah, kenapa sekarang kita yang buat jalan itu
jadi polusi?” Tuturku, dan temanku masih juga diam.
“Terus, apakah dengan duduk berlawan jenis
ngobrol itu juga yang namanya ukhwah Islamiah? Lalu kita mau kemanakan perintah
Allah tuk menjaga pandangan? Dan kita mau kemanakan larangan bercapur baur
dengan yang bukan mahram kecuali darurat? Seperti inikah ukhuwah Islamiah kita?
Atau jangan-jangan kita tertipu dengan kata bahasa Arab itu?” Tanyaku
membanjiri kepada temanku.
‘Senyap’ tak ada satu kata yang keluar dari
mulut temanku.
“Ah, sob, mulai hari ini, saya tidak mau ikut
lagi ukhuwah semacam itu, itu bukan ukhuwah Islamiah, tapi itu ukhuwah
syaethoniah.” Ucapku tegas.
Gubrak, wajah temanku memerah, seakan
kumenamparnya keras.
Irsun Badrun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar