Kutahu, menyesal di saat dosa memukul diri terdampar di tepi
kehancuran adalah salah satu syarat untuk bertaubat, maka kuharus menyesali
segala dosa yang pernah kugandrungi.
Kutahu, meninggalkan dosa juga salah satu syarat untuk bisa
diterima di sisi Allah, bak sebuah sekolah yang tidak menerima orang-orang yang
tidak memenuhi syarat untuk masuk sekolah.
Kutahu juga, memiliki kemauan yang kuat untuk tidak jatuh ke dalam
lubang dosa yang sama adalah salah satu
syarat dari syarat-syarat taubat.
Ya, tiga poin syarat taubat yang harus kukantongi tuk menuju pada
ampunan Allah.
Kutahu, diri ini terlalu kotor di setiap hari, bahkan jam dan
bahkan menit. Diri tidak pernah lepas dari jeratan dosa, bahkan selalu terpedaya
dengan dosa. Pertanyaannya, sudahkah kumerasa menyesal? Sudahkah kumeninggalkan
dosa itu? Sudahkah kuberazam dalam diri tuk tidak mengulangi perbuatan itu?
Kutahu, dan Allah lebih tahu, memandang aurat itu dosa, dan
tercela, tapi sungguh, mulai dari bangun tidur, aurat sudah terpampang di depan
mata, di sudut sana ada televisi, lagi-lagi ada aurat, di atas meja juga sudah
ada Koran, lagi-lagi ada aurat, di genggaman juga ada iPhone, lagi-lagi ada
aurat. Ya, hampir di segala sisi ada aurat, dan kutahu, memandangnya adalah
dosa, dan diriku bertanya, sudahkah kumenyesal memandangnya? Sudahkah kuberistigfar
ketika memandangnya? Sudahkah berusaha tuk tidak fokus padanya? Bagaiaman jika
kumati dan belum sempat beristigfar atas semua itu? Pantaskah kumasuk surga? Padahal
istigfar satu kali sehari saja kadang tidak terbit dari bibir sehatku.
Kutahu dan kusadari, kadang lidah ini tak sengaja menyinggung
kawanku, dan kadang juga dengan sengaja berkata kotor dan jorok, kadang juga
lepas janji tanpa ditepati, kadang juga ghibah teman sudah akrab di lisan,
kadang juga mencela orang tanpa mengetahui bahwa diri juga banyak yang kurang,
dan kadang-kadang yang lainnya.
Ya, kutahu, semua itu dosa, semua itu tercela dan semua itu
terangkai dengan rapi di catatan malaikat, namun, apakah diriku pernah merasa
menyesal dengan itu? Pernakah diriku membayar itu semua dengan selalu
beristigfar? Pernahkah diriku mencari orang yang dighibahi dan meminta maafnya?
Pernahkah diri mencari orang yang dicela tuk memohon maaf darinya? Pernahkah diri
berniat untuk tidak berkata kecuali yang baik saja? Ya, bagaimana jika aku mati
sedangkan semua keburukan dalam berkata itu masih menjadi kesenangan diri? Ya,
Allah perbaikilah diriku dan semua kaum muslimin.
Kutahu, telinga kan ditanya akan fungsinya, dan sungguh keterlaluan
diriku, gosip yang ada di siaran televisi, itulah pekerjaanku tiap hari,
padahal kutahu dosa. Musik lebay melalaikan diri, juga menjadi lantunan setan
setiap hari untuk menghibur diriku, padahal kutahu dosa. Suara wanita yang
mendayu-dayu membangkit hasrat, itu juga yang kusenangi, padahal kutahu dosa. Ya,
ya Allah, sehina inikah diriku? Bagaimana jika kumati dan belum sempat
beristigfar pada Allah sebagai rasa taubat kepada-Nya dari semua itu? Bagaimana
jika kumati dan rasa penyesalan belum juga terbetik di dalam hatiku? Allah,
kepada-Mulah kami memohon ampun.
Dan kutahu juga, hampir di setiap hari tangan dan kakiku kugunakan
untuk sesuatu yang tercela, maka apakah pernah kududuk menghahadap Allah dan
meneteskan air mata atas dosa yang pernah kaki dan tangan lakukan? Ah, kutakut
diri ini pergi meninggalkan dunia yang fana ini, sedangkan satu istigfar pun
belum menyinari bibirku dan rasa menyesal pun belum menghinggapi diriku.
Ah, aku hampir lupa syarat taubat yang keempat, yaitu membebaskan
diri apabila dosa itu berkaitan dengan manusia. Apabila pernah mencuri, maka
kembalikan atau gantikan curian itu. Jika memacari anak orang, bahkan sampai
menghamilinya, maka kuharus datang pada orang tua wanita dan meminta maaf pada
mereka, karena telah mencuri dan merusak barang titipan Allah pada mereka. Jika
tidak sanggup, maka berhentilah merusak tanaman orang.
Irsun Badrun
Darul Abrar 10 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar