Kamis, 22 Mei 2014

Bahagia Tanpa Jeda

Melihat sejarah Jepang zaman dulu, membuatku terangguk-angguk. Di sana ada kepatuhan perintah sang raja, tanpa bertanya apa tujuannya, di sana ada ketaatan perintah, tanpa bertanya apa hikmahnya.



“Itu hanya perintah seorang raja, bagaimana lagi dengan perintah di atas raja?” Gumamku dalam hati.  Ya, sang utusan Allah, yaitu baginda Rasulullah. Mungkin sebagai muslim yang taat, aku harus tunduk dan patuh atas segala perintah Rasulullah, tanpa harus bertanya, hikmah di balik semua perintah beliau, karena cukuplah ridho Allah karena ibadah yang berbuahkan surga, menjadi hikmah yang paling besar di atas segala hikmah.



“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” Annisa: 80. Arti firman Allah ini, seakan menyirami seluruh relung jiwaku, kemudian membuatku sadar, bahwa perintah Rasul, itulah perintah Allah, dan Allah lebih tahu dengan persoalan hambanya.



“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.” Al-Hisyr: 7. Kelembutan arti firman Allah ini juga, seakan menyelinap di relung hatiku dan membuatku sadar, bahwa segala apa yang terucap dari lisan yang mulia Rasulullah, kuharus dengar dan taat, jika tidak, maka cukuplah azab keras Allah sebagai ancaman. Ya, azab yang membuatku tertohok berkali-kali, jika harus mengatakan, “Ah, inikan sudah tidak sesuai dengan zaman. Ah, inikan bertentangan dengan ilmu kesehatan.” Ya, kalau memang ilmu kesehatan berkata seperti itu, maka mungkin kesalahan ilmu kesehatan, karena bagaimana mungkin Pencipta manusia dan disampaikan melalui lisan Rasul-Nya bisa salah? Tidak mungkin.



Ah, mungkin kuharus mengikuti jejak para sahabat. Merekalah yang selalu tegar berdiri di samping beliu. Kecintaan mereka kepada Rasul, sudah melewati ambang batas kecintaan, sehingga tidak ada desisan yang terukir indah dari lisan Rasulullah, kecuali hanya ada kata, “Sami’na, wa atho’na.” Kami dengar dan kami taat.




Abu Bakar Radhillahu Anhu, merupakan seorang sahabat yang paling tegar dengan keimanannya, tidaklah yang datang dari Rasulullah, kecuali ia adalah orang yang pertama kali mempercayainya. “Lihat, di awal dakwah Rasulullah, Abu Bakarlah orang yang pertama kali beriman kepada Rasulullah. Dan di saat Rasulullah memberitakan perihal isra mi’rajnya, maka Abu Bakar pula yang pertama kali mempercayai hal itu, sedangkan yang lain masih bertanya-tanya.” Desisku dalam hati. Ya, maka tidaklah salah jika Umar bin Khotab pernah berkata, “Jika sekiranya ditimbang imannya Abu Bakar dengan imannya penduduk bumi, maka sungguh imannya Abu Bakar lebih berat dengan mereka.” lalu, mengapa Syiah harus mengkafirkan Abu Bakar dan Umar? Sungguh sebuah penghinaan buat umat Islam.



Ya, tunduk dan taat itu, berbuah dari iman yang kokoh dan keyakinan yang kuat. “Lalu, jika kuharus bertanya-tanya, apa hikmahnya. Berlawanan dengan kesehatan, berlawanan dengan ilmu ini, maka keyakinankulah yang harus ditanyakan.” Ucapku sendiri dalam hati.



Kata tunduk dan taat atas segala perintah Rasulullah, mengingatkanku dengan sebuah dialog indah yang menunjukkan, betapa hati para sahabat, sangatlah mengagumi dan menghormati dengan pendapat Rasulullah.  Dialog ini terjadi, ketika Rasulullah bergerak bersama bala tentaranya mendahului kaum musyrikin untuk menguasai air Badar dan menghalangi mereka dari usaha menguasainya. Maka, Rasulullah mengambil posisi di ‘Asya’ yang merupakan sumber air paling rendah dari sumber-sumber air Badar.



“Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu; apakah ini posisi yang ditentukan Allah untukmu sehingga kita tidak boleh maju ataupun mundur? Ataukah hanya suatu pendapat perang dan tipudaya?” Ucap al-Habbab bin al-Mundzir sebagai ahli militer.



“Ini hanya sekedar pendapat, (bagian dari strategi) perang dan tipudaya.” Ucap Rasulullah.



Al-Habbab pun mengusulkan pendapatnya, dan kemudian diterima Rasulullah. Ya, kalau saja saat ditanya al-Habbab bin al-Mundzir, dan Rasulullah menjawab bahwa itu yang ditentukan Allah, maka pasti tidak ada kata kecuali “Sami’na wa atho’na.” Kami dengar dan taat. Karena, mereka yakin, segala yang diperintahkan Allah, itulah yang harus diikut, apa pun akibatnya. “Maka sekali lagi, iman dan keyakinanlah yang mebuat diri ini tunduk dan taat.” Ucapku lagi di saat sendiri.



Bagiku, contoh yang sangat sederhana perihal tunduk dan taat adalah, mendahulukan yang kanan dalam hal-hal yang terpuji. Mendahulukan yang kananlah, mengajariku sebuah budi pekerti yang luhur dan akhlak yang agung. Ya, di saat hendak bersalaman dan memberi, maka tangan kananlah sebagai budi pekertiku diikuti dengan hiasan senyum yang merekah. Itulah akhlak kepada manusia, dan sebagai akhlak kepada Allah, kuharus tunduk dan taat kepada-Nya, melalu contoh Rasulullah.



Mendahulkan yang kanan dalam makan juga, mengajari, bagaimana adab makan.Ya, mungkin itu terlihat sangat sederhana, tapi banyak di antara kaum muslimin yang hampir mengabaikannya. Kalau memang seperti itu, maka mungkin kuharus bertanya pada mereka, “Di mana bukti kecintaan mereka kepada Allah dan Rasul? Di mana bukti kepahaman mereka kepada ajaran agama ini? Or, jangan-jangan mereka yang hanya dipaksa jadi Islam karena orang tua, dan kemudian bodoh dengan ajaran Islam itu sendiri. Maybe.”



Dalam sebuah referensi disebutkan bahwa, “Tangan kiri dikendalikan oleh otak kanan, sedang tangan kanan dikendalikan oleh otak kiri.” Nah, dari pernyataan ini, maka sungguh betapa agung Islam, hadir dengan sebuah keseimbangang, dan bagiku, tidak ada agama yang mengajari keseimbangan seperti Islam yang begitu teratur, ingat keseimbangan otak kanan dan kiri. Coba lihat, ketika Rasulullah mencotohi umatnya mendahulukan yang kanan dalam hal-hal yang mulia, maka bukan berarti Rasulullah melupakan fungsi tangan kiri. Di saat wudhu, mendahulukan tangan kanan, tapi bukan berarti lupa dengan tangan kiri. Begitu juga di saat bertinja, maka ada fungsi tangan kiri.



Ya, Islam begitu teratur, sehingga dapat kusimpulkan, bahwa agama Islam adalah agama paripurna yang meliputi,  keyakinan iman, akhhlak, kesehatan, dan bagaimana hidup berkeluarga, berbangsa dan bernegara, karena Islam langsung dari penciptanya manusia dan lebih tahu perihal manusia.



Untuk bisa mendahulukan yang kanan dalam hal kebaikan, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Nyatanya, kumasih melihat, banyak yang makan pakai tangan kiri, padahal ia tahu, bahwa yang diperintahkan pakai tangan kakan. Banyak yang masih memberikan pakai tangan kiri, padahal ia tahu, bahwa sopannya pakai tangan kanan. Maka dari itu, mendahulukan yang kanan membutuhkan pembiasaan. Pembiasan dari kecil. Sama halnya dengna menulis, anak-anak harus dibiasakan menggunakan tangan kanan. “Bukankah begitu?” Tanyaku.



Mendahulukan tangan kanan. Ya, merupakan satu contoh kecil bentuk ketundukan kepada Rasulullah. So, jika ada yang datang dan berkata, harus mendahulukan tangan kiri, dalam segala sesuatu, biar kreativitas otak kanan pun terasah. Maka katakanlah, “Silahkan kamu, kita punya agama yang begitu sempurna, dan melahirkan umat-umat yang hebat, yang sampai hari ini belum ada yang menandingi keunggulan umat ini dengan ketaatan mereka.”



Kalau turunnya hujan awal dari sebuah kehidupan, maka taat dan patuh awal dari sebuah kebahagiaan nanti. Bukankah Allah telah berfirman lembut yang artinya, “Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Al-Imran: 31. Ya, kasih, cinta, ampunan, akan selalu menyertai orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Bahagia tidak? Mau tidak?



Sebuah goresan sederhana yang ingin memberikan pencerahan akan sebuah artikel yang harus mendahalukan yang kiri berupa, mengambil, menulis dan melakukan pekerjaan yang lainnya. Artikel yang diposting pada 16 Februari 2013 oleh Maeling di Viva Forum.

Irsun Badrun
Darul Abrar 23 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar