Sabtu, 24 Mei 2014

Aku Terlanjur Mencintai Mereka


Maafkan aku, kuterlanjur mencintai mereka. Mereka adalah bintang-bintang yang selalu membuat hidupku indah, karena kutahu, tanpa bintang-bintang itu, apalah artinya sebuah malam.

Perlu kamu tahu, kuterlanjur mencintai mereka. Karena mereka, laksana mentari yang menerangi jagad raya ini. Apalah jadinya hidupku tanpa mereka, pasti tak ada arah, tak ada tujuan, karena kumempelajari arti hidup ini dari mereka. Ya, sekali lagi dari mereka.

Kamu tahu, mereka memiliki tempat di hati ini. Mereka ada di sini (sambil kutunjuk dadaku). Mengapa kumencintai mereka? Ya tadi, mereka adalah lentera hidupku, karena bagaimana kubisa berjalan di sebuah kegelapan malam tanpa cahaya yang menerangi? Dan cahaya itu adalah mereka.

Mreka itu, mmm,,, sahabat. Ya, sahabat Rasulullah, yang sungguh tidak ada orang yang paling cinta Rasulullah di dunia ini, kecuali para sahabatnya. Rasa cinta mereka, sudah melewati ambang batas cinta manusia. Mm, kusenyum berbalut kagum, mreka sangat tegar berada di sisi Rasulullah. Harta, nyawa, waktu, dan tenaga, seakan mereka sudah gadaikan untuk Rasulullah. 

Maka, kupun terlanjur cinta dengan mereka, karena mereka juga terlanjur cinta dengan Rasulullah. Selain itu, merekalah cahaya-cahaya yang menerangi hidupku. Ya, mereka cahaya yang menuntun langkahku biar tak salah dalam melangkah. Bisa kamu bayangkan, kalau saja tidak ada mereka, maka kira-kira dari mana kamu akan mengambil ilmu agama ini? Tidak ada pilihan jawaban yang lagi bagimu kecuali kamu kan menjawab, “Dari sahabat Rasulullah.” Maka aku pun demikian.

Cintaku ini terlanjur tersematkan untuk mereka para sahabat. Karena mereka mengajariku arti sebuah kesetiaan. Tahukah kamu? Ketika Abu Bakar  mengatakan berimana kepada Rasulullah, maka ia pun jatuh cinta dengan Rasulullah, dan cinta itu selalu ada untuk Rasululla, kapan saja dan di mana saja. 

Ya, Abu Bakar mengajariku arti sebuah kesetiaa. Lihat, Abu Bakar Asshiddiq seorang bapak yang lebih tua dari Rasulullah, ketika menemani Rasulullah hijrah ke Madinah, dan singgah di gua Tsur, maka sungguh kesetiaan Abu Bakar dibuktikan saat, ia dipatok ular, namun Abu Bakar tak bergeming hanya takut Rasulullah terbangun, ya rasa hormat berbalut setia, walau Abu Bakar lebih tua dari Rasulullah. I Love You Abu Bakar. Aku rindu, dan aku terlanjur jatuh cinta.

Itulah pahlawanku, dan itu hanya satu contoh kecil bentuk kesetiaan orang yang kucintai kepada nabi mereka. Di sana masih ada sahabat-sahabat yang lain juga yang memeprtaruhkan jiwa raganya hanya untuk Rasul tercinta. Maka patutlah aku, menjadikan mereka teladan, karena hanya merekalah orang yagn murni menerima ajaran dari Rasulullah dan disamapikan kepadaku. 

Cintaku juga semakin menggebu kepada mereka, karena merekalah orang-orang yang telah mendapat rekomendasi langsung dari Allah, bahwa Allah telah meridhoi mereka. 

Kuingin bertanya kepadamu, adakah rekomendasi lain lagi dibutuhkan jika sudah mengantongi rekomendasi Rab? Kuharap jawabanmu sama denganku, yaitu tidak butuh lagi dengan rekomendasi manusia, karena cukuplah rekomendasi Allah bagiku, sedangkan manusia, mereka adalah orang yang butuh, maka mengapa meminta kepada orang yang butuh?

Sekarang, kamu sudah tahu dirikukan? Kuterlanjur cinta dengan mereka. ya, mereka sahabat Rasulullah. Coba lihat satu sahabat yang langsung mendapat doa Rasulullah. Namanya Abu Hurairah. Ya, Abu Hurairah pernah mendapat doa dari Rasulullah, agar orang-orang beriman mencinta mereka dan mereka mencinta orang-orang yang beriman.  Maka besar harapku, kutermasuk di dalam orang-orang yang beriman sampai akhir hayat dan selalu mencintai mereka, dan terbalaskan cintaku dengan cinta mereka kepadaku.

Kamu tahukan sekarang, aku mencintai mereka? Tapi kini, hatiku dilukai dan benar-benar ditohok. Masa datang kepadaku, dan berkata, bahwa Abu Bakar, Umar bi Khatab, Abu Hurairah dan sahabat yang laing kafir? Ya Allah, apakah setega itu mereka? Sungguh, secara tidak langsung seakan mereka telah berkata, Allah kafir, karena Allah telah memberikan mereka rekomendasi kepada mereka. Begitu juga, mereka seakan telah berkata, bahwa Rasulullah tidak becus mempunyai sahabat, karean Rasulullah telah ridho dengan mereka, dan dari merekalah aku tahu ajaran agama ini, dan begitu juga kamu, dari merekalah ajaran agama ini dikenal.  Dan secara tidak langsung, orang-orang yang mengatakan kafir para sahabat itu, seakan telah berkata, bahwa al-Qur’an tidak benar, sunnah Rasulullah tidak ada. Nauzu billah.

Sungguh kutidak menerima hal ini, sungguh kumerasa terpojokkan, sungguh kubenar-benar ditohok oleh mereka. Karena secara tidak langsung juga, mereka telah menghinaku sebagai seorang muslim yang taat, dan seakan mereka telah mengakatakan aku ini kafir, karena agama ini kuambil dari mereka parah sahabat. Jadi, kalau sahabat dikatai kafir, maka di belakang sahabat itu, ada aku.

Kamu mau tahu siapa yang mengkafirkn sahabat itu? Dengar-dengar mereka yang bernama Syiah.
Irsun Badrun
Bone 24 Mei 2014

Kamis, 22 Mei 2014

Bahagia Tanpa Jeda

Melihat sejarah Jepang zaman dulu, membuatku terangguk-angguk. Di sana ada kepatuhan perintah sang raja, tanpa bertanya apa tujuannya, di sana ada ketaatan perintah, tanpa bertanya apa hikmahnya.



“Itu hanya perintah seorang raja, bagaimana lagi dengan perintah di atas raja?” Gumamku dalam hati.  Ya, sang utusan Allah, yaitu baginda Rasulullah. Mungkin sebagai muslim yang taat, aku harus tunduk dan patuh atas segala perintah Rasulullah, tanpa harus bertanya, hikmah di balik semua perintah beliau, karena cukuplah ridho Allah karena ibadah yang berbuahkan surga, menjadi hikmah yang paling besar di atas segala hikmah.



“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” Annisa: 80. Arti firman Allah ini, seakan menyirami seluruh relung jiwaku, kemudian membuatku sadar, bahwa perintah Rasul, itulah perintah Allah, dan Allah lebih tahu dengan persoalan hambanya.



“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.” Al-Hisyr: 7. Kelembutan arti firman Allah ini juga, seakan menyelinap di relung hatiku dan membuatku sadar, bahwa segala apa yang terucap dari lisan yang mulia Rasulullah, kuharus dengar dan taat, jika tidak, maka cukuplah azab keras Allah sebagai ancaman. Ya, azab yang membuatku tertohok berkali-kali, jika harus mengatakan, “Ah, inikan sudah tidak sesuai dengan zaman. Ah, inikan bertentangan dengan ilmu kesehatan.” Ya, kalau memang ilmu kesehatan berkata seperti itu, maka mungkin kesalahan ilmu kesehatan, karena bagaimana mungkin Pencipta manusia dan disampaikan melalui lisan Rasul-Nya bisa salah? Tidak mungkin.



Ah, mungkin kuharus mengikuti jejak para sahabat. Merekalah yang selalu tegar berdiri di samping beliu. Kecintaan mereka kepada Rasul, sudah melewati ambang batas kecintaan, sehingga tidak ada desisan yang terukir indah dari lisan Rasulullah, kecuali hanya ada kata, “Sami’na, wa atho’na.” Kami dengar dan kami taat.




Abu Bakar Radhillahu Anhu, merupakan seorang sahabat yang paling tegar dengan keimanannya, tidaklah yang datang dari Rasulullah, kecuali ia adalah orang yang pertama kali mempercayainya. “Lihat, di awal dakwah Rasulullah, Abu Bakarlah orang yang pertama kali beriman kepada Rasulullah. Dan di saat Rasulullah memberitakan perihal isra mi’rajnya, maka Abu Bakar pula yang pertama kali mempercayai hal itu, sedangkan yang lain masih bertanya-tanya.” Desisku dalam hati. Ya, maka tidaklah salah jika Umar bin Khotab pernah berkata, “Jika sekiranya ditimbang imannya Abu Bakar dengan imannya penduduk bumi, maka sungguh imannya Abu Bakar lebih berat dengan mereka.” lalu, mengapa Syiah harus mengkafirkan Abu Bakar dan Umar? Sungguh sebuah penghinaan buat umat Islam.



Ya, tunduk dan taat itu, berbuah dari iman yang kokoh dan keyakinan yang kuat. “Lalu, jika kuharus bertanya-tanya, apa hikmahnya. Berlawanan dengan kesehatan, berlawanan dengan ilmu ini, maka keyakinankulah yang harus ditanyakan.” Ucapku sendiri dalam hati.



Kata tunduk dan taat atas segala perintah Rasulullah, mengingatkanku dengan sebuah dialog indah yang menunjukkan, betapa hati para sahabat, sangatlah mengagumi dan menghormati dengan pendapat Rasulullah.  Dialog ini terjadi, ketika Rasulullah bergerak bersama bala tentaranya mendahului kaum musyrikin untuk menguasai air Badar dan menghalangi mereka dari usaha menguasainya. Maka, Rasulullah mengambil posisi di ‘Asya’ yang merupakan sumber air paling rendah dari sumber-sumber air Badar.



“Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu; apakah ini posisi yang ditentukan Allah untukmu sehingga kita tidak boleh maju ataupun mundur? Ataukah hanya suatu pendapat perang dan tipudaya?” Ucap al-Habbab bin al-Mundzir sebagai ahli militer.



“Ini hanya sekedar pendapat, (bagian dari strategi) perang dan tipudaya.” Ucap Rasulullah.



Al-Habbab pun mengusulkan pendapatnya, dan kemudian diterima Rasulullah. Ya, kalau saja saat ditanya al-Habbab bin al-Mundzir, dan Rasulullah menjawab bahwa itu yang ditentukan Allah, maka pasti tidak ada kata kecuali “Sami’na wa atho’na.” Kami dengar dan taat. Karena, mereka yakin, segala yang diperintahkan Allah, itulah yang harus diikut, apa pun akibatnya. “Maka sekali lagi, iman dan keyakinanlah yang mebuat diri ini tunduk dan taat.” Ucapku lagi di saat sendiri.



Bagiku, contoh yang sangat sederhana perihal tunduk dan taat adalah, mendahulukan yang kanan dalam hal-hal yang terpuji. Mendahulukan yang kananlah, mengajariku sebuah budi pekerti yang luhur dan akhlak yang agung. Ya, di saat hendak bersalaman dan memberi, maka tangan kananlah sebagai budi pekertiku diikuti dengan hiasan senyum yang merekah. Itulah akhlak kepada manusia, dan sebagai akhlak kepada Allah, kuharus tunduk dan taat kepada-Nya, melalu contoh Rasulullah.



Mendahulkan yang kanan dalam makan juga, mengajari, bagaimana adab makan.Ya, mungkin itu terlihat sangat sederhana, tapi banyak di antara kaum muslimin yang hampir mengabaikannya. Kalau memang seperti itu, maka mungkin kuharus bertanya pada mereka, “Di mana bukti kecintaan mereka kepada Allah dan Rasul? Di mana bukti kepahaman mereka kepada ajaran agama ini? Or, jangan-jangan mereka yang hanya dipaksa jadi Islam karena orang tua, dan kemudian bodoh dengan ajaran Islam itu sendiri. Maybe.”



Dalam sebuah referensi disebutkan bahwa, “Tangan kiri dikendalikan oleh otak kanan, sedang tangan kanan dikendalikan oleh otak kiri.” Nah, dari pernyataan ini, maka sungguh betapa agung Islam, hadir dengan sebuah keseimbangang, dan bagiku, tidak ada agama yang mengajari keseimbangan seperti Islam yang begitu teratur, ingat keseimbangan otak kanan dan kiri. Coba lihat, ketika Rasulullah mencotohi umatnya mendahulukan yang kanan dalam hal-hal yang mulia, maka bukan berarti Rasulullah melupakan fungsi tangan kiri. Di saat wudhu, mendahulukan tangan kanan, tapi bukan berarti lupa dengan tangan kiri. Begitu juga di saat bertinja, maka ada fungsi tangan kiri.



Ya, Islam begitu teratur, sehingga dapat kusimpulkan, bahwa agama Islam adalah agama paripurna yang meliputi,  keyakinan iman, akhhlak, kesehatan, dan bagaimana hidup berkeluarga, berbangsa dan bernegara, karena Islam langsung dari penciptanya manusia dan lebih tahu perihal manusia.



Untuk bisa mendahulukan yang kanan dalam hal kebaikan, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Nyatanya, kumasih melihat, banyak yang makan pakai tangan kiri, padahal ia tahu, bahwa yang diperintahkan pakai tangan kakan. Banyak yang masih memberikan pakai tangan kiri, padahal ia tahu, bahwa sopannya pakai tangan kanan. Maka dari itu, mendahulukan yang kanan membutuhkan pembiasaan. Pembiasan dari kecil. Sama halnya dengna menulis, anak-anak harus dibiasakan menggunakan tangan kanan. “Bukankah begitu?” Tanyaku.



Mendahulukan tangan kanan. Ya, merupakan satu contoh kecil bentuk ketundukan kepada Rasulullah. So, jika ada yang datang dan berkata, harus mendahulukan tangan kiri, dalam segala sesuatu, biar kreativitas otak kanan pun terasah. Maka katakanlah, “Silahkan kamu, kita punya agama yang begitu sempurna, dan melahirkan umat-umat yang hebat, yang sampai hari ini belum ada yang menandingi keunggulan umat ini dengan ketaatan mereka.”



Kalau turunnya hujan awal dari sebuah kehidupan, maka taat dan patuh awal dari sebuah kebahagiaan nanti. Bukankah Allah telah berfirman lembut yang artinya, “Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Al-Imran: 31. Ya, kasih, cinta, ampunan, akan selalu menyertai orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Bahagia tidak? Mau tidak?



Sebuah goresan sederhana yang ingin memberikan pencerahan akan sebuah artikel yang harus mendahalukan yang kiri berupa, mengambil, menulis dan melakukan pekerjaan yang lainnya. Artikel yang diposting pada 16 Februari 2013 oleh Maeling di Viva Forum.

Irsun Badrun
Darul Abrar 23 Mei 2014

Selasa, 20 Mei 2014

Hanya Bisa Melihat Dari Dalam Kaca

Hanya bisa melihat dari dalam kaca. Ya, hanya dari dalam kaca kumelihat carut-marut antara para pemimpin yang kan maju memegang kemudi bangsa Indonesia. Kutidak tahu pasti, apa yang sesungguhnya terjadi, kuhanya bisa melihat dari dalam kaca melalu tulisan-tulisan dan berita-berita.




Hanya bisa melihat dari dalam kaca. Ya, dari dalam kaca,  tak tahu apa yang sesungguhnya terjadi, tapi bukan berarti harus aku diam dan tak pedul dengan apa yang terjadi dan akan terjadi. kini, firman Allah lembut yang artinya seakan menyelinap ke seluruh sukmaku dan berkata, “Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” Al-Baqarah: 216.




Hanya di dalam kaca kumelihat orang-orang yang kan memperebut  tonggak kepemimpinan, tapi dari dalam kaca ini, ada Allah yang mengetahi segalanya. Kalau memang Allah yang mengetahui segalanya, mengapa aku harus menjauhinya? Coba mendekat kepada-Nya, mohon kepada-Nya, agar sekiranya, kebusukan-kebusukan orang-orang yang hendak menghancurkan Islam dari dalam, agar ditelanjangi, bak ditelanjanginya Abdullah bin Ubai bin Salul, dedengkotnya munafiq.




Hanya bisa melihat dari dalam kaca. Ya, inilahkeadaanku sekarang. Tapi bukan berarti aku harus diam, aku masih mempunya senjata tak tampak, tapi sangat mematikan, senjata itu adalah doa. Ya, doa adalah senjatanya orang-orang yang beriman, maka cukuplah doa yang diajarkan Rasulullah, “Allahumma arinal haqqa haqqan warzuqnattibaa’a, wa arinal baathila baatila, warzuqnaj tinaaba.”  Yang artinya, “Ya Allah, perlihatkanlah kepada kami bahwa yang benar itu benar, dan karuniakanlah kami untuk mengikutinya, dan perlihatkanlah kepada kami bahwa yang salah itu salah, dan karuniakanlah kami untuk menjauhinya.”




Hanya dengan doa dari dalam kaca, tidak ada yang tidak mungkin dengan doa, karena Allah adalah Pemilik hati, Maha yang membolak balikkan hati, Allah yang tahu segala kebenaran, maka mengapa tidak kembali pada Allah? Ya, mungkin diri ini lupa dengan Allah. Sehingga Allah hendak mengujiku atas apa yang menimpa umat Islam di luar kaca sana, Allah hendak menimpakan kebingungan dalam diriku, karena aku jauh dari-Nya.




Tidak ada yang mustahil walau hanya dari dalam kaca. Karena tidak ada yang mustahil bagi Allah di dunia ini. Toh Rasulullah juga bisa sampai ke langit dengan secapat mungkin, bayi juga bisa berbicara, Negara raksasa pun bisa ditaklukkan, maka tiak ada yang mustahi, Allah hanya menunggu dari diri ini, sudahkah diri kembali pada-Nya apa belum? Dirikulah yang harus menjawabnya.




Hanya bisa melihat dari dalam kaca. Ya, dari dalam kaca kumendengar di sana ada partai-partai yang mungkin bisa dibilang tidak murni Islam, tapi paling tidak mereka telah mempunyai komitmen bahwa mereka lebih condong memihak pada orang yang bisa membuat agama ini tetap bisa bertahan. Merek juga takut kalau Islam di Negara ini menjadi seperti warga yang berada di Suria.




Hanya bisa melihat dari dalam kaca. Ya, di sinilah kumendapati  firman Allah yang artinya, “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali agama Allah dan janganlah kamu bercerai berai.” Al-Imran: 103. Ya, ayat ini bukan menyuru untuk mendukung demokrasi, tapi ayat ini  lebih pada berpegang teguh dengan tali Allah agar menjadi satu dan merasakan bagaiman nikmatnya sebuah persaudaraan yang dibangun atas dasar Islam. Ya, paling tidak dengan koalisi partai-partai Islam, Allah hendak mengajariku, betapa indahnya sebuah persaudaraan Islam, yang kemudian diharapkan akan timbul sebuah keinginan, bahwa agama ini harus bersatu di bawah satu bendera LAA ILAHA ILLALLAH. Pertanyaannya untuk diriku, maukah kamu bersatu?




Sekali lagi, hanya bisa melihat dari dalam kaca. Sebuah partai merah berkepala banteng, adalah partai yang mencoba mengadakan konspirasi dengan Negara-Negara barat,  dan tentunya Yahudi, dan partai inilah yang kubisa melihat dari dalam kaca, mereka lebih jauh dari Islam dibanding dengan partai-partai yang lain.




Hanya bisa melihat dari dalam kaca. Ya, di dalam kaca ini, kutemui arti firman Allah yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan teman orang-orang yang di luar kalanganmu sebagai teman kepercayaanmu.” Al-Imran:118. Ya, jangan menjadikan teman mereka yang mencoba berkosnpirasi untuk menghancurkan Islam dari dalam. Dan partai berkepala banteng inilah yang lebih banyak dapat dukungan dari mereka yang memusihi Islam.




Ya, dari dalam kaca, kucoba menuliskan lembaran kecil ini, mencoba menimbulkan rasa cemburu bagi yang merasa islam, karena agama ini hanyut dan tenggelam di tangan diri sendiri, karena hanya diam dan santai melihat dari dalam kaca. Maka apakah aku juga diam di dalam kaca sambil menikmati kopi hangat? Ya, dengan lembaran kecil ini, kuharap ada yang bersedia berbagi. Dan dengannya, ia berusaha menunjukkan, bahwa dia adalah salah satu taring-taring Islam yang masih tetap tajam dan siap menggigit siapa yang mencoba mengganggu agama ini.
Irsun Badrun
Bone 21 Mei 2014

Tanyamu Tentang Jihad Dan Teroris


“Jihad seperti apa yang diperlukan umat Islam di Indonesia?” Tanyamu seakan mencari solusi kepadaku.  Munkin terlalu naif, kalau kukatakan kepadamu, ayo angkat senjata, sama-sama kita berperang. 

Perlu kamu tahu, sebelum pedang terhunus untuk menegakkan kalimat Allah, maka satu yang perlu kamu perhatikan, hunuskan kekuatanmu, dan berjihad melawan dirimu, taklukkan hawa nafsumu, bimbing keluargamu, mantapkan aqidahmu, karena sesungguhnya umat ini menang, bukan dengan hunusan pedang yang tajam dan jumlah yang banyak, tapi umat ini menang, karena tarbiah iman yang kokoh di dalam sanubari.

Kamu juga kemarin berkata kepadaku, “Aku ngeri dengan teroris-teroris yang berkedok jihad.”  Ya, sambil menikmati air putih, aku pun senyum kepadamu dan mengangkat jempolku sebagai isyarat, aku setuju denganmu.

Kamu tahu, diriku seakan ditohok dengan kata teroris, umat Islam seakan diracuni dengan kata teroris, sehingga mereka yang awam seakan ikut-ikutan mengatakan, bahwa Islam agama teroris, padahal, Islam tidak ajarkan seperti itu, dan mereka yang ikut-ikutan mengatakan seperti itu, tidak lain mereka hanya orang-orang bodoh akan agama mereka sendiri.

Bukankan sangat naif, jika satu kejadian  kemudian kumemvonis semuanya? Ya, menurutku sangat naif, satu orang yang melakukan perbuatan salah, kemudian kita memukul rata semuanya. Beberapa tahun yang lalu, yang mungkin kita dengar di Makassar, atau di Bali, dan itu pun beritanya tidak terlalu jelas, kecuali di fitnahkah oleh media-media yang kamu  pun ikut mempercayainya, bahwa telah terjadi pemboman. Ya, jelas mereka salah. Bukan itu konsep Islam yang sebenarnya. Jelas?

Perlu kamu tahu, kata teroris itu digembor-gemborkan oleh musush-musuh Islam, mereka ingin mengatakan di dunia bahwa Islam adalah teroris, dan tidak lain, mereka hanya ingin memadamkan cahaya agama Allah, tapi Allah  kan selalu menyempurnakan agama-Nya, dan mereka juga ingin merusak mental-mental umat Islam. So, jangan tertip dengan kata teroris, yang harus kita katakan teroris itu, adalah orang yang membantai Umat Islam Yanmar, Afrika Tengah, Palestina, Suriah, dan tempat-tempat yang lain yang seakan media menutup mata dari mereka, kamu pun seakan menutup mata dari mereka, dan tidak pernah mengatakan mereka sebagai teroris, tapi kamu selalu trauma dengan kata teroris, dan merasa ngeri dengan orang Islam sendiri. Sekarang siapa yagn akan kamu katakana teroris?
Irsun Badrun
Watampone 20 Mei 2014

Tulisan Saat Badai Di Atas Phinisi



Bapa, mama, saya yakin bapa dan mama tak pernah lupa dengan segala kejadian yang terjadi dalam rumah sederhana kita, dan begitu juga dengan putra bapa dan mama ini, walau semua deretan kejadian tak dapat saya rekam  dengan sempurna, namun sukmaku selalu tahu, jiwa ragaku selalu sadar, bahwa dari segala rentetan kejadian itu, bapa dan mama tak pernah pudar kasih sayangnya untukku.

Bapa dan mama masih ingat waktu kita berlayar dari desa kita menuju Manado? Ya, anak bapa dan mama juga masih ingat, masih ingat dengan senyum indah, air mata kasih sayang, peluh keringat perjuangan, dan cerita mama di atas perahu.

Di saat perahu lepas dan menjauh dari pelabuhan, bapa dengan senyum menarik tali dan mengibarkan layar,  bapa juga yang mengemudikan perahu menuju Sulawesi Utara, sedangkan mama, merangkul saya dengan saudara-saudaraku dan duduk di depan perahu sembari menceritakan para pelaut ulung. Ya, mama ceritakan itu  penuh senyum bahagia dan semangat berlayar yang kuat, saya pun gembira dengan cerita itu, sedangkan bapa di belakang sana melihat kita dengan penuh optimis.

Di saat malam tiba, dengan penuh cinta, mama juga menemaniku tidur bersama saudara-saudaraku di dalam rumah-rumah perahu  phinisi yang sederhana. Sedangkan bapa, terus mengemudi dengan ditemani kopi hangat.

Bapa, mama, sungguh hari-hari itu, sangat indah saya rasa, indah karena senyum mama, indah karena perjuangan bapa, dan indah karena kita tetap bersama. Namun, yang namanya samudra, tidak menjanjikan senyum yang monoton, maka di malam hari mendekati fajar, perahu yang kita tumpangi, oleng diterpa badai.
Ia, badai bapa, badai mama, hari itu saya masih ingat, ketika perahu kita hampir tenggelam, bapa dengan semangatnya, menurunkan layar, bapa berlari depan ke belakang, belakang ke depan, bingung apa yang harus dilakukan demi melindungi dan menyelamatkan kita. Adapun mama, dengan air mata kasih dan cinta, merangkul kita semua sembari berucap, "Jangan takut nak, jangan takut nak, sebentar lagi teduh." Sedangkan kami anak-anak bapa dan mama, hanya bisa histeris malam itu. 

Bapa, mama, di antara rentetan kejadian itu, seakan menjanjikan kasih, menjanjikan cinta. Nyatanya, setelah cahaya mentari memenuhi jagad raya di pagi hari, alhamdulillah kami masih bersama dan senyum pun bersinar mengkuti sang mentari,  yang sebelumnya kita dihantam badai tiga jam lamanya.

Bapa, mama, walau kita keluarga phinisi yang hidup di tengah samudra, yang penuh dengan tantangan badai, gemuruh ombak, serta guyuran hujan, jauh lebih membuat saya bahagia, karena kita tetap bisa bersama dan saling merangkul di kala musibah menerpa.

Dari pada mereka yang hidup di daratan sana, karena terbentang kehidupan, mereka pun berdesak-desakkan memperebutkannya, bahkan saling mendorong dan tanpa sadar, mereka saling menzholimi antara mereka. 

Saya bahagia bapa, saya bahagia mama, jadi keluarga phinisi walau dipenuhi badai.

Irsun Badrun
Kajuara Bone 20 Mei 2014

Minggu, 18 Mei 2014

Ajari Aku Menggunakan Pena

Ketika mulut tak lagi bisa mengaung demi kebenaran Karena dibungkam, maka, bukan berarti kupasrah dan berdiam diri untuk tidak menyuarakan kebenaran, masih ada pena yang harus berbicara, kalau saja goresan itu tak dibaca hari ini, maka mungkin dua puluh tahun yang akan datang, kebenaran akan terungkap dengan goresan sederhana.

Atau, mungkin mulut ini tak pandai menyusun kata-kata tuk berbicara, atau bisa saja cacat atau apalah itu, yang jelas, bukan berarti aku harus diam dan hanya menjadi penonton polos, tapi Allah masih sisakan pena, untuk menyuarakan kebenaran.

Ya pena, ketika pedang seakan tak terlihat lagi fungsinya tuk menebas leher-leher para penghancur, atau pedang seakan patah dengan kekuatan musuh, maka kumasih memiliki pena untuk mematahkan pedang-pedang mereka dari diri-diri pembaca, atau mungkin pedang mereka akan patah oleh diri mereka sendiri. Ya, mungkin, kalau suatu saat pemilik pedang membacanya dan mengetahui siapa yang benar.

Ya, penalah, yang sampai hari ini agama ini tetap dihargai karena pembukuan al-Qur'an. Agama ini tetap murni dengan pembukuan hadits, kalau saja tak ada yang menulisnya, maka sungguh umat ini tak ada peradabannya.

Coba sini, ajari aku menggunakan pena, maka akan kutulis sesuatu yang bisa menginspirasi orang-orang menjadi baik, karena betapa banyak di sana goresan pena yang meninggalkan kesesatan dan keburukan, dan goresan itu tetap hidup menginspirasi orang-orang untuk sesat dan buruk.

Irsun Badrun
Darul Abrar 19 Mei 2014