Kebahagiaan itu memiliki penafsiran yang berbeda, tergantung cara yang memandangnya. Namun bagiku, kebahagiaan begitu sangat sederhana, ya sangat sederhana.
Menikmati waktu senja dengan sepotong terang bulan di penghujung desa bersama bidadari adalah sesuatu yang sangat berarti. Sederhana bukan?
Di sana kita berbincang masalah rasa. Rasa yang dimulai dengan kesederhanaan yang menuntut jiwa nerimo semua rasa yang bergejolak di tengah samudra pasutri.
Sangat sederhana menyulam rasa yang kian renggang di atas hamparan sawah di bawang kolong langit dan di penghujung senja.
Sang mentari pun tersenyum dengan kesederhanaan kita. Mentari selalu berdoa kepada Allah untuk kita, pasalnya, masih mengeratkan rasa dengan kesederhanaan yang ada.
Kesederhanaan ini menjadikan iblis menangis pilu. Mereka kira dengan keterbatasan mampu menggoyahkan rasa kita, ternyata tidak!
Namun yang kutakutkan, jika kesederhanaan ini berubah menjadi kemewahaan, masih mampukah kita mengeratkan rasa? Wallahu a'lam. Maka bersyukurlah dengan kesederhanaan, karena mungkin itu sebab kita masih bersama.
Irsun Badrun
Masaran 11 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar